Oleh: Putu Ardana Bukian
Tahun 2017
Tahun 2017
Sampai
saat ini, pendidikan karakter masih menjadi pembahasan hangat didunia
pendidikan.Baik dikalangan praktisi pendidikan maupun pemerhati pendidikan.
Namun terkait dengan pendidikan karakter “lensa teropong” dari masyarakat pasti
mengarah kepada lingkup sekolah kemudian menciut pada pendidik atau guru
selanjutnya menukik pada siswa yang menjadi muara semua pembicaraan pendidikan
karakter.
Sekadar penghangat ingatan pembaca,
ada delapan belas hal operasional yang
terkait dengan pendidikan karakter.
Delapan belas tersebut meliputi:religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai,
gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tangggung jawab. Delapan
belas karakter tersebut diharapkan tertanam dalam diri siswayang nantinya
memengaruhi kehidupan nanti ketika mereka tumbuh menjadi generasi penerus
bangsa Indonesia. Pertanyaan kemudian muncul. Apakah pendidikan karakter hanya
untuk anak yang duduk di bangku sekolah saja? Apakah pendidikan karakter tidak
perlu dikalangan remaja, tua, pejabat, tokoh masyarakat? Apakah penerapan
pendidikan karakter tersebut mampu membentuk anak-anak bangsa yang lebih
bermutu dari generasi sebelumnya? Bertitik
tolak dari masalah tersebut, pembaca tentunya sepakat jika kita mengorek apa
yang sebenarnya terjadi dengan bangsa
kita sehingga perlu dan muncul ide pengembangan karakter dalam dunia
pendidikan.
Pendidikan karakter seperti yang
kita ketahui bersama merupakan bentuk kerinduan kita akan kenyamanan,
kedamaian, ketenangan, kelurusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan kata lain kita ingin semboyan jawa kuno “gemah ripah lohjinawi toto
tentrem kerto raharjo” terwujud kembali. Caranya bagaimana dengan menumbuhkan
kembali rasa nasionalisme, keadilan serta kejujuran dalam berbangsa dan
bernegara. Hal tersebutlah sekiranya yang memunculkan ide penerapan pendidikan
karakter. Seperti yang dinyatakan oleh Thomas Lickona (dalam Haryanto, 2012)
bahwa pendidikan karakter merupakan suatu usaha sengaja yang dilakukan unutk
membantu seseorang sehingga ia dapat memahami dan memperhatikan serta sekaligus
mengimplementasikan nilai-nilai etika yang menjadi inti kehidupan. Senada dengan
pernyataan tersebut Dali Gulo (dalam kamus psikologi, 1998) mengungkapkan bahwa
pendidikan karakter merupakan pembentukan kepribadian yang ditinjau dari
perilaku etis atau moral seseorang. Dengan demikian, pendidikan karakter inti
sarinya ialah membentuk atau bahkan mengarahkan manusia untuk berperilaku yang
lebih etis dan bermoral baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, pendidikan karakter
sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pendidik di sekolah maupun
dilembaga pendidikan lain, namun menjadi tanggung jawab semua kalangan. Dan,
pendidikan karakter bukan hanya untuk anak –anak usia sekolah (siswa/
mahasiswa) namun pendidikan karakter sangat penting juga dikalangan tua lebih
spesifik lagi kalangan yang memangku jabatan (pejabat) termasuk juga dikalangan
pendidik/ guru. Anak-anak usia sekolah selalu menjadi corong utama pembentukan
sikap yang baik sehingga mereka “ dipressing” agar mereka berperilaku menjadi
anak yang baik. Namun hal tersebut akan kandas dan mereka akan kembali menjadi
generasi yang sama ketika melihat perilaku orang (dianggap) dewasa dalam pergaulan
sehari-hari di masyarakat, seperti fenomena yang terjadi sekarang ini di
Indonesia, yaitu muncul koruptor-koruptor baru, penipu-penipu baru,dsb.
Ada yang berpendapat bahwa,
pendidikan di era-era sebelumnya lebih baik dibandingkan era sekarang. Saat sekarang
ini, banyak siswa yang memiliki etika yang kurang baik. Tidak hormat kepada
guru, melawan orang tua, dan banyak tindakan- tindakan anarkis yang dilakukan
oleh remaja. Dan tindakan itu dikatakan penyebabnya ialah, pendidikan sekrang
yang tidak mengedepankan perilaku etika.mereka hanya dijejali hal-hal kognitif
yang bisa menghasilkan siswa berprestasi, siswa juara lomba, juara umum, dll.
Pemikiran
itu tidak sepenuhnya benar sebab jika dibalik bertanya, apakah pejabat korup, pejabat
yang menerima suap yang menjadi berita hangat di media massa merupakan produk masa kini atau produk pendidikan
dahulu? Jika itu diperdebatkan semua akan menjadi benar sendiri-sendiri.
Dengan
demikian jika pemerintah dalam hal ini diawali dari kementrian pendidikan dan
kebudayaan mencetuskan penerapan pendidikan yang berbasis karakter bangsa, harus didukung pula dengan perilaku yang
dimunculkan oleh kalangan tua. Terjadikan penurunan moral dikalangan remaja
bukan merupakan hal yang genetis melainkan efek dari kurangnya tauladan yang
mereka amati, dengar dan baca baik dari
media lektronik, cetak , maupun informasi dalam pergaulan mereka. Seperti yang
disindir oleh Nardayana (dalang Cenk Blonk) dalam pementasan wayang menyatakan
“sing ade nak cenik ngae uwug gumi, mu
cai tngalin di tv, surat kabar ade nak SD korupsi milyaran? Pasti nak tue dueg
to……” kurang lebih artinya “ tidak ada anak kecil yang menghancurkan dunia,
coba kamu lihat di tv , surat kabar apakah ada anak SD korupsi milyaran? Pasti
yang korupsi itu yang sudah dewasa dan pintar mereka…”. Jika kita cermati
sindiran itu, ada benarnya juga. Kita tidak
perlu menutup semua indera dengan hal itu. Dari keterbukaan dan menerima
itulah mestinya kita tidak menukikkan pendidikan pada kalangan pelajar saja.
Dengan demikian, pertanyaan yang
muncul di awal terkait sasaran pendidikan karakter terjawab. Pendidikan
karakter apakah untuk anak-anak saja? Tentu jawabannya tidak. Orang dewasa pun
sangat memerlukan penerapan etika,
kejujuran, rasa mencintai tanah air, moral yang baik. Dan tidak hanya dilingkup
lembaga pendidikan saja, penerapan tersebut dilaksanakan diseluruh sektor
kehidupan. Ketika kalangan dewasa pemangku kebijakan mampu berperilaku yang
mencerminkan delpan belas poinpendidikan karakter bangsa, kalangan muda sudah
tentu akan menjadikan hal tersebut menjadi cerminan untuk melangkah ke hal yang
selanjutnya. Sehingga apa yang diterapkan terkait penanaman disiplin, penanaman
rasa nasionalisme, penerapan tindakan kejujuran dan penanaman pentingnya etika
serta moral di tingkat sekolah tidak kandas dan pupus ketika melihat di
kehidupan nyata sebenarnya tidak diperlukan poin-poin tersebut. Mereka melihat
ada budaya suap ketika mencari pekerjaan, mereka mendengar adanya korupsi mulai
dari tingkat bawah sampai menteri bahkan ironis lagi perilaku yang tidak etis
dan bermoral dilakukan oleh pemuka agama. Mereka juga melihat pelaku korupsi
tetap bisa bebas dengan kehidupan santai. Sehingga pertanyaan terakhir apakah
menerapan pendidikan karakter mampu membentuk generasi yang lebih baik
dibandingkan generasi sebelumnya? Jawabannya ialah bergantung kepada cerminan
tingkah laku “senior” mereka. Hal tersebut seperti orang tua yang melarang anak
mereka agar tidak merokok karena rokok sangat tidak baik untuk kesehatan sedangkan
sang bapak ketika itu sedang menikmati sebatang rokok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar