Selasa, 13 Juni 2017

PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER BUKAN HANYA “KONSUMSI” PELAJAR




Oleh: Putu Ardana Bukian
Tahun 2017
Sampai saat ini, pendidikan karakter masih menjadi pembahasan hangat didunia pendidikan.Baik dikalangan praktisi pendidikan maupun pemerhati pendidikan. Namun terkait dengan pendidikan karakter “lensa teropong” dari masyarakat pasti mengarah kepada lingkup sekolah kemudian menciut pada pendidik atau guru selanjutnya menukik pada siswa yang menjadi muara semua pembicaraan pendidikan karakter.
            Sekadar penghangat ingatan pembaca, ada delapan belas hal operasional  yang terkait  dengan pendidikan karakter. Delapan belas tersebut meliputi:religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tangggung jawab. Delapan belas karakter tersebut diharapkan tertanam dalam diri siswayang nantinya memengaruhi kehidupan nanti ketika mereka tumbuh menjadi generasi penerus bangsa Indonesia. Pertanyaan kemudian muncul. Apakah pendidikan karakter hanya untuk anak yang duduk di bangku sekolah saja? Apakah pendidikan karakter tidak perlu dikalangan remaja, tua, pejabat, tokoh masyarakat? Apakah penerapan pendidikan karakter tersebut mampu membentuk anak-anak bangsa yang lebih bermutu dari generasi sebelumnya?    Bertitik tolak dari masalah tersebut, pembaca tentunya sepakat jika kita mengorek apa yang  sebenarnya terjadi dengan bangsa kita sehingga perlu dan muncul ide pengembangan karakter dalam dunia pendidikan.
            Pendidikan karakter seperti yang kita ketahui bersama merupakan bentuk kerinduan kita akan kenyamanan, kedamaian, ketenangan, kelurusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain kita ingin semboyan jawa kuno “gemah ripah lohjinawi toto tentrem kerto raharjo” terwujud kembali. Caranya bagaimana dengan menumbuhkan kembali rasa nasionalisme, keadilan serta kejujuran dalam berbangsa dan bernegara. Hal tersebutlah sekiranya yang memunculkan ide penerapan pendidikan karakter. Seperti yang dinyatakan oleh Thomas Lickona (dalam Haryanto, 2012) bahwa pendidikan karakter merupakan suatu usaha sengaja yang dilakukan unutk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami dan memperhatikan serta sekaligus mengimplementasikan nilai-nilai etika yang menjadi inti kehidupan. Senada dengan pernyataan tersebut Dali Gulo (dalam kamus psikologi, 1998) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter merupakan pembentukan kepribadian yang ditinjau dari perilaku etis atau moral seseorang. Dengan demikian, pendidikan karakter inti sarinya ialah membentuk atau bahkan mengarahkan manusia untuk berperilaku yang lebih etis dan bermoral baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Dengan demikian, pendidikan karakter sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pendidik di sekolah maupun dilembaga pendidikan lain, namun menjadi tanggung jawab semua kalangan. Dan, pendidikan karakter bukan hanya untuk anak –anak usia sekolah (siswa/ mahasiswa) namun pendidikan karakter sangat penting juga dikalangan tua lebih spesifik lagi kalangan yang memangku jabatan (pejabat) termasuk juga dikalangan pendidik/ guru. Anak-anak usia sekolah selalu menjadi corong utama pembentukan sikap yang baik sehingga mereka “ dipressing” agar mereka berperilaku menjadi anak yang baik. Namun hal tersebut akan kandas dan mereka akan kembali menjadi generasi yang sama ketika melihat perilaku orang (dianggap) dewasa dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat, seperti fenomena yang terjadi sekarang ini di Indonesia, yaitu muncul koruptor-koruptor baru, penipu-penipu baru,dsb.
            Ada yang berpendapat bahwa, pendidikan di era-era sebelumnya lebih baik dibandingkan era sekarang. Saat sekarang ini, banyak siswa yang memiliki etika yang kurang baik. Tidak hormat kepada guru, melawan orang tua, dan banyak tindakan- tindakan anarkis yang dilakukan oleh remaja. Dan tindakan itu dikatakan penyebabnya ialah, pendidikan sekrang yang tidak mengedepankan perilaku etika.mereka hanya dijejali hal-hal kognitif yang bisa menghasilkan siswa berprestasi, siswa juara lomba, juara umum, dll.
Pemikiran itu tidak sepenuhnya benar sebab jika dibalik bertanya, apakah pejabat korup, pejabat yang menerima suap yang menjadi berita hangat di media massa merupakan  produk masa kini atau produk pendidikan dahulu? Jika itu diperdebatkan semua akan menjadi benar sendiri-sendiri.
Dengan demikian jika pemerintah dalam hal ini diawali dari kementrian pendidikan dan kebudayaan mencetuskan penerapan pendidikan yang berbasis karakter bangsa,  harus didukung pula dengan perilaku yang dimunculkan oleh kalangan tua. Terjadikan penurunan moral dikalangan remaja bukan merupakan hal yang genetis melainkan efek dari kurangnya tauladan yang mereka amati, dengar dan baca  baik dari media lektronik, cetak , maupun informasi dalam pergaulan mereka. Seperti yang disindir oleh Nardayana (dalang Cenk Blonk) dalam pementasan wayang menyatakan “sing ade nak cenik ngae uwug gumi, mu cai tngalin di tv, surat kabar ade nak SD korupsi milyaran? Pasti nak tue dueg to……” kurang lebih artinya “ tidak ada anak kecil yang menghancurkan dunia, coba kamu lihat di tv , surat kabar apakah ada anak SD korupsi milyaran? Pasti yang korupsi itu yang sudah dewasa dan pintar mereka…”. Jika kita cermati sindiran itu, ada benarnya juga. Kita tidak  perlu menutup semua indera dengan hal itu. Dari keterbukaan dan menerima itulah mestinya kita tidak menukikkan pendidikan pada kalangan pelajar saja.
            Dengan demikian, pertanyaan yang muncul di awal terkait sasaran pendidikan karakter terjawab. Pendidikan karakter apakah untuk anak-anak saja? Tentu jawabannya tidak. Orang dewasa pun sangat memerlukan  penerapan etika, kejujuran, rasa mencintai tanah air, moral yang baik. Dan tidak hanya dilingkup lembaga pendidikan saja, penerapan tersebut dilaksanakan diseluruh sektor kehidupan. Ketika kalangan dewasa pemangku kebijakan mampu berperilaku yang mencerminkan delpan belas poinpendidikan karakter bangsa, kalangan muda sudah tentu akan menjadikan hal tersebut menjadi cerminan untuk melangkah ke hal yang selanjutnya. Sehingga apa yang diterapkan terkait penanaman disiplin, penanaman rasa nasionalisme, penerapan tindakan kejujuran dan penanaman pentingnya etika serta moral di tingkat sekolah tidak kandas dan pupus ketika melihat di kehidupan nyata sebenarnya tidak diperlukan poin-poin tersebut. Mereka melihat ada budaya suap ketika mencari pekerjaan, mereka mendengar adanya korupsi mulai dari tingkat bawah sampai menteri bahkan ironis lagi perilaku yang tidak etis dan bermoral dilakukan oleh pemuka agama. Mereka juga melihat pelaku korupsi tetap bisa bebas dengan kehidupan santai. Sehingga pertanyaan terakhir apakah menerapan pendidikan karakter mampu membentuk generasi yang lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya? Jawabannya ialah bergantung kepada cerminan tingkah laku “senior” mereka. Hal tersebut seperti orang tua yang melarang anak mereka agar tidak merokok karena rokok sangat tidak baik untuk kesehatan sedangkan sang bapak ketika itu sedang menikmati sebatang rokok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar